PASAL 460 KUHP 2023: SAAT NYAWA BAYI TAK LAGI BERNILAI
Oleh: Jalil Hasan. Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Pamulang, Kelurahan Buaran, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan.
Mediapersindonesia.com- HUKUM. Indonesia baru saja mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang mulai berlaku pada 1 Januari 2026. Seharusnya ini menjadi momentum pembaruan hukum pidana nasional yang lebih adil, manusiawi, dan mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa. Namun sayangnya, di tengah semangat reformasi hukum itu, justru muncul satu pasal yang menurut saya sangat problematik, bahkan mencederai rasa keadilan masyarakat: Pasal 460 ayat (2) KUHP 2023.
Pasal tersebut mengatur bahwa: > “Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya yang baru dilahirkan dan perbuatan itu dilakukan karena takut akan diketahui orang lain bahwa ia telah melahirkan anak di luar perkawinan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.”
Mari kita pikirkan sejenak. Seorang ibu yang dengan rencana membunuh bayinya sendiri, hanya diancam dengan pidana maksimal 9 tahun penjara. Bandingkan dengan Pasal 459 KUHP yang menyebutkan bahwa pembunuhan berencana pada umumnya diancam pidana mati, penjara seumur hidup, atau paling lama 20 tahun penjara.
Ini bukan sekadar soal angka. Ini soal nilai nyawa manusia di mata hukum.
Mengapa Nyawa Bayi Seakan Lebih Murah?
Pertanyaan paling mendasar: Apa yang membedakan bayi korban pembunuhan oleh orang lain, dengan bayi yang dibunuh oleh ibu kandungnya sendiri?
Apakah karena bayi itu belum tumbuh besar, belum sempat bicara, atau belum memberi kontribusi sosial, maka nilainya dianggap lebih rendah? Ataukah karena pelakunya adalah ibu kandung yang dianggap mengalami tekanan mental, hukum lalu menjadi lebih lunak?
Memang benar bahwa dalam hukum pidana modern dikenal konsep pengurangan pertanggungjawaban pidana (diminished responsibility), terutama jika pelaku mengalami tekanan psikis atau berada dalam kondisi khusus. Namun apakah tekanan sosial karena takut ketahuan melahirkan anak di luar nikah cukup untuk meringankan tindakan pembunuhan yang dilakukan dengan perencanaan?
Bukankah justru rencana itu menunjukkan adanya kesadaran dan niat jahat?
Hukum tidak boleh membuka celah pemakluman terlalu lebar. Karena jika hal ini dibiarkan, maka potensi penyalahgunaan akan sangat besar. Pelaku bisa saja berdalih takut ketahuan, tertekan, malu, dan lain sebagainya, padahal sesungguhnya mereka sepenuhnya sadar dan secara aktif memilih membunuh anaknya sendiri.
Krisis Moral dan Lemahnya Efek Jera
Kita tidak bisa menutup mata bahwa saat ini Indonesia sedang menghadapi krisis moral yang serius: pergaulan bebas meningkat, kehamilan di luar nikah makin marak, dan berita tentang bayi dibuang, dikubur hidup-hidup, atau dibunuh terus bermunculan.
Tragisnya, banyak pelaku yang merasa bisa “lepas” dari hukuman berat dengan hanya mengaku depresi atau takut ketahuan. Ini berbahaya. Karena hukum pidana seharusnya memberikan efek jera, bukan malah memberi ruang kompromi terhadap tindakan yang menghilangkan nyawa manusia.
Nyawa Bayi Harus Dihargai Setara
Dalam perspektif hukum pidana klasik dan modern, perlindungan terhadap nyawa adalah prinsip utama. Apalagi dalam hukum Indonesia yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Bahkan bayi yang belum lahir pun memiliki hak untuk hidup, sebagaimana tercermin dalam berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Perlindungan Anak.
Jika negara tidak tegas dalam menegakkan perlindungan terhadap kelompok paling rentan ini, maka kita sedang menormalisasi pembunuhan terhadap bayi atas nama simpati semu.
Sudut Pandang Agama: Dosa Besar yang Dianggap Ringan?
Sebagai seorang muslim, saya juga tidak bisa mengabaikan perspektif moral dalam Islam. Tindakan membunuh anak karena takut malu atau miskin sangat dikecam keras oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an:
> “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami akan memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS. Al-Isra: 31)
Ayat ini bukan hanya untuk umat Islam, tapi sebagai pengingat bahwa dalam pandangan moral universal, nyawa anak adalah amanah yang tidak boleh diabaikan hanya karena tekanan sosial atau ekonomi.
Penutup:
Negara Harus Tegas, Bukan Toleran terhadap Kekejaman
Saya percaya bahwa hukum adalah cermin dari nilai-nilai bangsa. Jika hukum kita mulai membedakan nilai nyawa manusia berdasarkan siapa pelakunya atau kondisi sosialnya, maka kita sedang menuju jurang relativisme hukum yang membahayakan.
Sebagai mahasiswa hukum, saya tidak bisa diam. Saya melihat Pasal 460 ayat (2) KUHP 2023 sebagai bentuk anomali hukum yang perlu dikritisi. Saya tidak anti terhadap empati, tapi empati tidak boleh membutakan keadilan.
Kalau hari ini kita lunak terhadap pembunuhan bayi karena pelakunya ibu kandung sendiri, maka besok mungkin kita akan melunak terhadap kekerasan lain… dan terus begitu, sampai hukum kehilangan wibawanya.
Saya Jalil Hasan, dan saya bersuara. Karena diam adalah bentuk pembiaran.
#TolakPasal460 #KeadilanUntukBayi #MahasiswaBersuara #HukumItuHarusAdil