TRADISI KORUPSI: KITA BUKAN KORBAN, TAPI PELAKU YANG LEBIH HALUS
Oleh : Jalil Hasan, Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Pamulang (Unpam), Kelurahan Buaran Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan,
Mediapersindonesia.com – PENDIDIKAN. Korupsi di Indonesia bukan semata-mata persoalan hukum atau moral elite politik. Ia telah menjelma menjadi kebiasaan kolektif—sebuah tradisi yang diwariskan, dibiasakan, dan dipelihara oleh kita sendiri. Kita mencibir pejabat yang menggelapkan dana triliunan, tapi dalam diam, kita juga tak ragu menyelipkan amplop demi kelancaran urusan pribadi.
ironisnya, kita marah pada praktik korupsi besar, tetapi diam pada bentuk-bentuk korupsi kecil yang kita nikmati. Mungkin, kita bukan sekadar korban. Kita adalah bagian dari masalah itu sendiri.
Dari Rumah ke Ruang Rapat
Pejabat korup tidak muncul tiba-tiba. Mereka tumbuh dari lingkungan yang memaklumi penyimpangan kecil. Dari ayah yang menyuap agar anaknya bisa diterima sebagai PNS. Dari ibu yang membayar “uang terimakasih” agar anaknya masuk sekolah favorit. Dari murid-murid yang menyontek dengan bangga karena tak ketahuan.
Mindset yang tumbuh dari kebiasaan itu begitu sederhana namun merusak: asal tidak ketahuan, maka bukan kejahatan. Inilah titik awal kerusakan moral kolektif kita: ketika kejujuran dianggap bodoh, dan jalan pintas dianggap cerdas.
Sistem yang Kita Biarkan Busuk.
Kita hidup di negeri di mana proses kalah pamor dibanding hasil. Koneksi lebih berharga daripada kompetensi. Dalam birokrasi, kenalan bisa melompati antrian, dan uang pelicin bisa mempercepat keputusan. Di balik lelucon “kalau nggak nyogok, urusan lama,” tersembunyi kenyataan pahit: gratifikasi telah jadi budaya.
Lalu, ketika kita mendapati pemimpin yang mencuri, kita marah. Tapi, saat yang sama, kita juga tidak segan mengambil bantuan sosial yang bukan hak kita, atau ikut berebut isi truk kecelakaan. Korupsi sudah menjadi semacam perlombaan. Bukan lagi tentang siapa yang jahat, tapi siapa yang paling cepat mengambil peluang.
Moralitas yang Cair
Kita menuntut pemimpin jujur, tapi kita sendir tak siap menjalani hidup secara jujur. Ketika korupsi merugikan kita, kita berteriak. Tapi ketika menguntungkan, kita memilih diam. Kita menyebut pejabat yang berbagi hasil rampokannya sebagai “dermawan”. Kita bersimpati bukan karena prinsip, tapi karena kepentingan.
Pejabat bukan akar masalah. Mereka hanyalah manifestasi dari kita—dalam versi yang lebih kaya, lebih berkuasa, dan lebih kebal hukum.
Kita Butuh Perubahan, Bukan Kambing Hitam
Saya tidak menulis ini karena merasa lebih baik dari siapa pun. Saya menulis ini karena sadar: perubahan tidak akan terjadi jika kita terus menuding ke atas tanpa berkaca pada diri sendiri. Perubahan besar selalu dimulai dari perubahan kecil: dari cara kita mengurus dokumen tanpa menyogok, dari menolak menyontek, dari menahan diri untuk tidak menyalahgunakan fasilitas publik. Kita tidak bisa berharap Indonesia bebas korupsi, jika kita masih nyaman dengan suap-suapan kecil. Kita tidak bisa menuntut revolusi moral, jika kita sendiri tidak siap hidup lebih bermoral.
Mungkin sudah waktunya kita berhenti menertawakan korupsi, dan mulai merasa malu padanya. Jika Anda merasakan keresahan yang sama, mari kita ubah arah. Tidak dengan kemarahan, tapi dengan kesadaran. Tidak saling menyalahkan, tapi saling memperbaiki.
Karena negeri ini tidak akan bersih, jika tangan-tangan kita sendiri masih kotor.
Korupsi tak lahir dari kekuasaan, tapi dari kebiasaan kita membenarkan jalan pintas. Kita bukan korban. Kita bagian dari masalah.”
#KorupsiAdalahKita #OpiniBangsa #JujurItuRevolusioner