DI ANTARA CITRA DAN CINTA: KEPEMIMPINAN DI ERA ALGORITMA
Oleh : Elsya Blantika, Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Pamulang (Unpam), Kelurahan Buaran Kecamatan Serpong Kota Tangerang Selatan,
Mediapersindonesia.com – PENDIDIKAN. Tanpa kamera, tanpa panggung, tanpa sorotan media. Tanpa WhatsApp, tanpa trending topic, tanpa headline berita. Di era modern ketika cinta sering digantikan oleh citra, dan keterampilan dikalahkan oleh tampilan, kita seakan lupa bagaimana kepemimpinan sejati pernah diteladankan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memimpin bukan dengan pencitraan, melainkan dengan kepercayaan. Ia tidak menunggu sorot kamera untuk menggali parit bersama pasukannya—ia menggali karena merasakan beban yang tak boleh hanya ditanggung umatnya. Ia tidak membentuk narasi agar terlihat merakyat, ia benar-benar menjadi bagian dari rakyat. Kepemimpinannya lahir dari akhlak, bukan algoritma.
Kini, kita hidup dalam zaman ilusi. Kebenaran dikurasi oleh algoritma, bukan oleh nurani. Para pemimpin tampil bak selebritas, dengan tim kreatif yang lebih aktif daripada hati nurani mereka. Mereka paham kapan harus menangis, bagaimana harus tertawa, dan kepada siapa harus berpura-pura sederhana.
Era ini tidak mengutamakan nilai, tapi narasi. Kejujuran bisa disalahpahami sebagai kelemahan, dan kesederhanaan ditafsirkan sebagai kurang berdaya saing. Seorang pemimpin yang benar-benar mencintai rakyatnya justru tampak asing di tengah lautan gaya dan polesan. Sementara itu, yang lihai memanipulasi emosi publik mendapat tepuk tangan paling meriah.
Kita telah menyaksikan bagaimana citra mengalahkan cinta, bagaimana branding menggusur beban moral. Pemimpin yang seharusnya menjadi pelayan malah menjadi idola digital. Mereka bukan lagi merendahkan hati mendengar suara rakyat, tapi justru sibuk mengejar sorak sorai algoritma dan tepuk tangan digital.
Di balik setiap konten inspiratif, bisa jadi ada konsultan bayaran. Di balik setiap aksi sosial, bisa jadi ada perhitungan elektoral. Kepemimpinan bukan lagi tentang mengayomi, tapi tentang mengamankan elektabilitas. Dan rakyat, tanpa sadar, menjadi penonton dalam drama politik yang mereka pikir nyata.
Padahal, Rasulullah SAW mengajarkan bahwa kepemimpinan bukan soal tampilan, tapi tanggung jawab. Beliau tidak pernah sibuk membentuk opini, tapi sibuk menjaga kejujuran. Tidak mengejar popularitas, tapi memperjuangkan kebenaran—walau sunyi dan perih. Itulah cinta, yang tidak butuh kamera untuk berbicara.
Namun zaman telah berubah. Ini adalah zaman kapital dan kecepatan. Zaman di mana impresi lebih penting dari integritas. Di mana mesin pencari lebih dipercaya daripada mushaf, dan wajah pemimpin lebih dikenal daripada isi pikirannya. Zaman ketika keikhlasan kalah telak oleh algoritma pencitraan.
Rasulullah telah memberi peringatan. Akan datang masa ketika pendusta dipercaya, yang jujur dituduh berdusta. Ketika pengkhianat diberi amanah, dan yang amanah justru dicurigai. Ketika suara ruwaibidhah—orang dungu yang bicara tentang urusan publik—menjadi arus utama dalam diskusi bangsa.
Apakah kita sedang berada di masa itu ?
Maka, menjadi penting bagi kita untuk tidak hanya cerdas, tapi juga waras. Tidak hanya kritis, tapi juga berani mempertahankan nurani. Karena pemimpin yang hanya tampil di layar tidak akan pernah sanggup menjawab tangis sunyi rakyat di luar frame.
Kita butuh pemimpin yang memimpin dengan cinta—bukan cinta popularitas, tapi cinta dalam bentuk pengorbanan. Pemimpin yang hadir tidak hanya saat kamera menyala, tapi juga saat kesunyian menyelimuti. Yang mendengar lebih dari sekadar mendengungkan. Yang hadir bukan untuk menaklukkan, tapi untuk melayani.
Karena pada akhirnya, rakyat tak butuh aktor, tapi pelayan. Dan sejarah akan selalu mencatat: siapa yang bersinar karena kebenaran, dan siapa yang tenggelam dalam kemasan